Proyek Raksasa dan Tuduhan Premanisme, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Ketika proyek besar PT Chandra Asri Alkali (CAA) di Cilegon mencuat ke permukaan, bukan hanya soal pembangunan yang menjadi sorotan. Dugaan praktik premanisme yang menyeret tiga tersangka dari Kadin dan HNSI menambah kompleksitas kasus ini.
Publik terpecah antara yang melihat ini sebagai aksi kriminal murni dan yang menilai ada ketimpangan struktural yang lebih mendalam. Apakah ini sekadar ulah oknum, atau cerminan dari ketidakadilan yang telah lama terpendam?
Benarkah Proyek Strategis Nasional Ini Menguntungkan Rakyat?
PT CAA, anak usaha dari PT Chandra Asri Pacific Tbk, tengah membangun pabrik Chlor Alkali-Ethylene Dichloride di Cilegon, yang telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun, pertanyaannya, seberapa besar proyek ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat lokal?
Apakah status PSN menjamin kesejahteraan warga sekitar, atau justru menjadi tameng bagi kepentingan segelintir elit untuk memuluskan rencananya sementara mengabaikan rakyat disekitar lokasi PSN.
Otonomi Daerah, Berjalan Di Atas Kertas?
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah seharusnya memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola wilayahnya. Namun, dalam praktiknya, banyak kebijakan strategis, termasuk proyek PSN, masih didominasi oleh pemerintah pusat.
Perpres No. 122 Tahun 2016 dan Perpres No. 75 Tahun 2014 memang mengamanatkan keterlibatan daerah, tetapi implementasinya seringkali setengah hati. Akibatnya, pemerintah daerah seperti kehilangan kendali atas tanah kelahirannya sendiri.
Lalu apa gunanya ada otonomi daerah?
Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung
Pepatah "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung" seakan terlupakan dalam praktik investasi modern. Investor besar masuk tanpa mempertimbangkan kearifan lokal, seringkali mengabaikan pengusaha dan tenaga kerja setempat.
Padahal, pemberdayaan masyarakat lokal bukan hanya soal etika, tetapi juga strategi bisnis berkelanjutan. Tanpa itu, investasi hanya akan menjadi sumber konflik dan ketidakpuasan yang berkepanjangan. Dan jika itu terjadi, korbannya adalah rakyat kecil yang lemah.
Deretan Luka atas Janji yang Tak Terpenuhi
Kemarahan warga Cilegon bukanlah hal baru. Sejak berdirinya PT Krakatau Steel (PT KS) pada era 1970-an, masyarakat telah menyimpan luka mendalam. Banyak warga yang tergabung dalam komunitas "Bedol Desa" harus rela meninggalkan kampung halaman mereka dengan janji-janji manis tentang pemberdayaan putra daerah dan kompensasi lahan. Namun, point-point janji tersebut seringkali tidak ditepati. Bahkan, hingga kini, beberapa fasilitas sosial dan rumah ibadah yang sempat dijanjikan sebagai pengganti belum terealisasi [1].
Kekecewaan semakin mendalam dengan hadirnya PT Krakatau Posco, perusahaan patungan antara PT KS dan Pohang Steel Company (Posco) asal Korea Selatan. Meski perusahaan ini memiliki program pelatihan seperti K-Dream dan Krakatau Posco Apprentice Program, kritik tajam tetap mengemuka.
Pengusaha lokal merasa terpinggirkan karena proyek dan tender di perusahaan tersebut lebih banyak dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan asal Korea yang tergabung dalam Krakatau Posco Family Association (KPFA).
Bahkan, pada April 2022, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Cilegon Menggugat (AMCM) menggelar aksi unjuk rasa menuntut diakhirinya monopoli usaha oleh KPFA [2].
Tak hanya itu, PT Chandra Asri juga tidak luput dari sorotan. Meski banyak warga Cilegon yang telah berpendidikan tinggi dan memiliki keahlian, perusahaan ini dituding mengabaikan potensi tenaga kerja lokal. Kritik serupa juga diarahkan kepada PT Krakatau Posco, yang meski mengklaim telah menyerap 80% tenaga kerja lokal, tetap menuai protes karena minimnya keterlibatan pengusaha lokal dalam proyek-proyek besar mereka [3].
Kekecewaan masyarakat Cilegon terhadap perusahaan-perusahaan besar ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut harga diri dan keadilan. Janji-janji yang tidak ditepati, minimnya keterlibatan lokal, dan praktik-praktik yang dianggap tidak adil telah memicu berbagai aksi protes dan unjuk rasa.
Masyarakat berharap agar pemerintah dan pihak terkait dapat mendengarkan suara mereka dan mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini.
Ledakan Emosi atau Aksi Balasan? Menelisik Peran Oknum dalam Kadin
Ketika video intimidasi oleh oknum Kadin viral, banyak yang langsung mengutuk aksi tersebut. Namun, di balik tindakan itu, ada akumulasi kekecewaan dan rasa dikhianati yang telah lama terpendam.
Masyarakat lokal merasa dipinggirkan di tanahnya sendiri, sementara proyek-proyek besar terus berdiri tanpa melibatkan mereka. Apakah tindakan tersebut salah? Ya. Tapi apakah itu muncul tanpa sebab? Tentu tidak.
Langkah Walikota, Isyarat Perlawanan atau Sekadar Simbolik?
Ketika Walikota Cilegon dipanggil ke Jakarta oleh Wakil Menteri, harapan masyarakat pun tumbuh. Pernyataan tentang pentingnya pelibatan pengusaha dan tenaga kerja lokal menjadi angin segar. Namun, apakah pernyataan itu akan diikuti dengan tindakan nyata? Ataukah hanya menjadi simbolik tanpa implementasi? Masyarakat menunggu bukti, bukan sekadar janji.
Dugaan Pelanggaran Regulasi Korporasi, Hukum Masih Tajam ke Bawah?
PT CAA dan kontraktor utamanya, Chengda asal China, diduga melanggar berbagai regulasi, antara lain:
- Izin AMDAL belum diterbitkan;
- Main contractor belum memiliki kantor sah di Indonesia dengan direktur WNI;
- Kepemilikan saham belum sesuai aturan;
- Penggunaan TKA tidak mengacu pada regulasi;
- Belum memiliki badan hukum PT di Indonesia sebagaimana diamanatkan UU No. 25/2007 dan UU No. 40/2007;
- Diduga belum memiliki klasifikasi dan sertifikasi LPJK sebagai kontraktor.
Pertanyaannya, mengapa pelanggaran-pelanggaran ini tidak segera ditindak? Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Cepat Bertindak pada Rakyat, Lambat pada Korporasi?
Penetapan tersangka terhadap oknum Kadin dan HNSI berlangsung cepat. Namun, pelanggaran oleh korporasi besar seperti PT CAA dan Chengda tampaknya tidak mendapat respons serupa. Publik mulai mempertanyakan: apakah hukum di negeri ini berlaku adil? Ataukah ada standar ganda yang membuat keadilan hanya menjadi ilusi?
Gubernur Banten Ditantang Bersikap, Bersuara untuk Rakyat atau Elite?
Sebagai pemimpin daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur Banten diharapkan menjadi pelindung rakyatnya. Namun, pernyataan-pernyataan yang terkesan mendukung investor tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal menimbulkan kekecewaan.
Rakyat menanti sikap tegas dan bijak, bukan sekadar retorika yang memihak kepentingan elite namun mengabaikan kondisi masyarakat lokal yang seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkontribusi sesuai dengan porsi dan kompetensinya.
Oleh: Umar Khalid