Gemerlap Investasi di Cilegon, Siapa yang Paling Diuntungkan?

menyikapi kisruh investasi di Cilegon, siapa yang paling diuntungkan?

Ironi Investasi Besar dan Dampal Sosial Masyarakat Lokal

Kasus Chandra Asri yang saat ini menjadi sorotan publik sejatinya adalah ekspresi dari akumulasi rasa tersingkirkan. Hanya saja, para pengusaha datang pada waktu yang tidak tepat, dengan cara yang keliru, hingga sebagian dari oknum pelakunya akhirnya harus berhadapan dengan hukum.

Namun, di balik itu, ada fakta sosial yang tidak bisa disangkal, investasi besar telah lama berlangsung secara eksklusif, meninggalkan pelaku usaha dan tenaga kerja lokal sebagai penonton.

Mengutip artikel kompasiana.com (25/05/2025), yang ditulis oleh akun bernama Kang Nasir menyebut bahwa masalah keterpinggiran pelaku usaha lokal, minimnya akses tenaga kerja lokal, dan gangguan lingkungan di tengah gemuruhnya industri di Cilegon bukanlah sebuah hal baru.

Idealnya, untuk mengatasi hal di atas, Pemerintah Kota memiliki perangkat hukum daerah yang jelas baik dalam bentuk Perda maupun Perwal, yang mewajibkan setiap investasi besar melibatkan pelaku usaha lokal dan memberdayakan masyarakat lokal baik dalam rekrutmen tenaga kerja maupun dalam aspek lainnya.

Baca juga: Tingkatkan Keterlibatan Pengusaha Lokal, Ketua DPRD Dorong Perda Khusus


Regulasi Daerah Terkendala UU Pusat

Setiap kali Pemda mencoba menerbitkan Perda yang mengatur keterlibatan lokal—baik pengusaha maupun tenaga kerja selalu mentok di atas. Dicabut atau dibatalkan dengan dalih bertentangan dengan UU Penanaman Modal atau UU Cipta Kerja.

Jika begitu, daerah harus kreatif menyikapi keterbatasan di atas. Pemerintah kota bisa membuat SOP teknis perizinan yang mewajibkan perusahaan mengisi formulir komitmen keterlibatan lokal: berapa persen mitra lokal? Berapa tenaga kerja lokal yang diserap? Adakah CSR yang dirasakan warga? Ini bisa dituangkan dalam MoU resmi sebagai syarat kelanjutan proyek.

Hal seperti ini menjadi penting bukan hanya untuk menjaga kepercayaan masyarakat, tapi juga menjadi alat koreksi dan pencegahan agar tidak ada ruang bagi praktik monopoli yang merugikan daerah. Keterlibatan lokal tidak bisa dibiarkan menjadi urusan suka atau tidak suka perusahaan. Harus ada aturan yang mengikat dan mengarah pada keadilan sosial bagi masyarakat Cilegon.

Baca juga: Premanisme atau Akumulasi Kekecewaan Selama 55 Tahun, Mengurai Masalah Proyek PT CAA

Harapan untuk Penegakan Aturan dan Keadilan Sosial

kasus ini menjadi cermin bahwa investasi besar tanpa regulasi yang berpihak pada masyarakat lokal hanya akan menimbulkan luka sosial yang mendalam. Diharapkan, pemerintah daerah dan pusat dapat bersinergi untuk menciptakan regulasi yang adil dan berpihak pada masyarakat lokal, agar investasi benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak, bukan hanya segelintir elit.

Banyak pihak juga mulai mencurigai bahwa praktik-praktik semacam ini bukan terjadi secara kebetulan. Ada kemungkinan keberpihakan elite kekuasaan lebih condong menjaga kepentingan modal besar ketimbang memastikan hak-hak dasar masyarakat sekitar lokasi investasi terpenuhi. Ketika proyek-proyek bernilai triliunan berjalan tanpa transparansi dan tanpa jaminan keterlibatan lokal, kecurigaan publik terhadap adanya kongkalikong sulit untuk dihindari.

Harapannya, kasus seperti ini bisa jadi titik balik bagi Cilegon, bahwa investasi bukan hanya soal angka dan beton, tapi juga tentang keadilan sosial, transparansi, dan tanggung jawab terhadap lingkungan serta masyarakat yang terdampak langsung.

Sumber: https://www.kompasiana.com/mochnasir

Produk Sponsor