Sebagai kota industri, Cilegon punya reputasi kuat sebagai rumahnya pabrik baja terbesar di Asia Tenggara, PT Krakatau Steel. Tapi di balik gegap gempita industri berat itu, ada kekosongan yang tidak kalah mencolok, yaitu minimnya dukungan terhadap sektor industri kreatif.
Kota dengan kontribusi yang patut diperhitungkan untuk ekonomi nasional ini justru seolah membuat wajah kita tak lagi mewakili sisi humanis warganya, lantaran kurangnya perhatian terhadap sektor seni, budaya, dan kreativitas.
Sektor industri kreatif seharusnya bisa menjadi penopang ekonomi baru, terutama di tengah perubahan zaman dan tren digital. Tapi di Cilegon, arah ke sana masih buram. Tidak ada roadmap jelas, tidak ada data terbuka yang mendetail dari Pemkot soal subsektor kreatif mana yang akan dikembangkan, dan lebih miris, belum ada political will yang kuat. Ini bukan soal "bisa atau tidak", tapi soal "mau atau tidak".
Ada Kreativitas, Tapi Tempat Bertumbuh Sangat Terbatas
Menurut data Dinas Koperasi dan UKM Kota Cilegon, jumlah pelaku usaha UMKM dengan NIB mencapai 18.279 unit. Sekilas ini terlihat positif, tapi ketika ditelusuri lebih dalam, hanya 5 di antaranya yang sudah naik kelas menjadi usaha menengah. Mayoritas usaha masih berskala mikro, sangat rentan, dan kurang mendapat akses pengembangan serius.
Lebih menarik lagi, dari puluhan ribu pelaku usaha tersebut, sebagian besar didominasi oleh sektor kuliner. Sektor seperti desain, seni pertunjukan, kriya, hingga aplikasi digital nyaris tak tersentuh. Di tengah gempuran tren digital, subsektor ini seharusnya menjadi prioritas, terutama bagi Gen Z dan milenial lokal yang sebenarnya haus aktualisasi.
Sampai hari ini, belum ada kebijakan yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai prioritas. Tidak ada inkubator kreatif khusus, tidak ada pusat pelatihan digital berbasis komunitas, dan tidak terlihat insentif nyata dari APBD yang diarahkan untuk penguatan sektor ini.
Gedung Dekranasda Terbengkalai, Menjadi Simbol Pemerintah Lalai?
Gedung Dekranasda Cilegon seharusnya menjadi rumah bagi para pelaku industri kreatif lokal. Namun kenyataannya, gedung ini terbengkalai. Tanpa aktivitas, tanpa program pembinaan, dan tanpa perhatian. Gekrafs Cilegon pernah menyuarakan pentingnya revitalisasi gedung ini, tapi gaungnya hanya sampai ke media, masih jauh untuk menyelinap kedalam agenda birokrasi.
Ini bukan sekadar soal gedung kosong, tapi simbol ketidakseriusan Pemkot terhadap industri kreatif. Alih-alih menjadi ruang kolaborasi seperti di Bandung atau Yogyakarta, gedung ini malah jadi monumen bisu dari kegagalan tata kelola sektor kreatif. Tanpa keberpihakan nyata, kreativitas hanya akan jadi jargon di setiap Pemilu Daerah kota ini.
Inkubasi Wirausaha, Munculnya Harapan Tapi Tak Cukup Mapan
Pemerintah Cilegon pernah meluncurkan program Inkubasi Wirausaha dan pinjaman tanpa bunga lewat Kartu Cilegon Sejahtera (KCS). Total dana Rp 5,9 miliar telah disalurkan ke hampir 2.000 pelaku usaha. Tapi program ini belum menyasar langsung sektor kreatif secara spesifik.
Pelatihan yang ada masih bersifat umum, belum menyentuh aspek-aspek strategis seperti desain, branding, produksi konten digital, hingga pengembangan IP (Intellectual Property). Sektor kreatif butuh pendekatan yang berbeda, yang diberikan sekarang ini baru sebatas “modal”, bukan “model”.
Kritiknya sederhana, program ini bagus tapi belum tajam. Pemerintah seolah hanya memoles permukaan, tanpa menyentuh akar persoalan, yaitu minimnya ekosistem yang mendukung perkembangan ekonomi berbasis kreativitas.
Sementara itu, kota-kota lain di Indonesia telah mengambil langkah konkret untuk mendukung sektor ini. Di Bandung, misalnya, terdapat Bandung Creative Hub yang menyediakan fasilitas gratis bagi masyarakat untuk berkreasi di 17 subsektor ekonomi kreatif .
Lanjut di Bekasi, Bekasi Creative Center telah diresmikan sebagai ruang bagi pemuda untuk berkreasi dan beraktivitas . Bahkan di Papua, Presiden kala itu, Joko Widodo meresmikan Papua Youth Creative Hub sebagai wadah bagi pemuda-pemudi Papua untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi di berbagai bidang .
Melihat perkembangan ini, pertanyaan kritisnya adalah, kapan Cilegon akan mulai serius menata potensi-potensi kreatifitas anak muda? menyiapkan satu ruang yang kondusif. Sebuah ruang nyata yang tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga pusat aktivitas dan kolaborasi bagi para pelaku industri kreatif lokal.
Jika Cilegon Ingin Lebih dari Sekadar Kota Industri
Cilegon sudah terlalu lama nyaman sebagai kota industri berat. Tapi kita hidup di era baru, di mana kreativitas adalah mata uang masa depan. Kota ini punya semua bahan dasarnya, yaitu anak muda kreatif, warisan budaya, akses teknologi, dan semangat wirausaha. Tapi semua potensi ini akan terus terkubur jika tidak ada perubahan cara pandang dan kebijakan yang visioner.
Wali Kota Cilegon kerap menyebut kolaborasi pentahelix (akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, media). Namun zaman telah berubah, dan kini saatnya mengadopsi pendekatan hexahelix, menambahkan satu elemen penting, yaitu pelaku kreatif dan inovator digital.
- Akademisi: Penelitian, pelatihan dan mentoring berbasis lokalitas.
- Bisnis: Investasi dan inkubasi produk kreatif.
- Komunitas: Penggerak ide dan inovasi sosial.
- Pemerintah: Fasilitator regulasi dan insentif.
- Media: Penguat narasi dan publikasi.
- Pelaku Kreatif & Inovator Digital: Sumber ide dan produk disruptif lokal.
Inilah waktunya untuk berani melakukan revolusi kebijakan:
- Revitalisasi Gedung Dekranasda menjadi creative hub.
- Anggaran khusus dan transparan untuk sektor ekonomi kreatif.
- Pelatihan berbasis teknologi dan digital marketing kreatif.
- Kolaborasi lintas sektor yang nyata, bukan simbolik.
- Keterlibatan komunitas dan kreator lokal dalam perumusan kebijakan.