Dua Produk Hukum Era Jokowi, Ironi Investasi Raksasa Tapi Rakyat di Daerah Nelangsa


Investasi Raksasa, Tapi Rakyat Daerah Nelangsa

Masuknya investasi besar ke daerah sering disambut dengan gegap gempita. Ada janji lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan ekonomi. Tapi di balik euforia itu, ternyata banyak warga lokal yang merasa malah jadi korban.

Bukan cuma soal ganti rugi lahan yang nggak adil, tapi juga konflik sosial, pencemaran lingkungan, dan yang paling nyesek, pemerintah daerah seolah nggak punya kuasa atas itu. Apa penyebabnya? Benarkah otonomi daerah kian tergerus akibat 2 produk hukum di era Pemerintahan Jokowi? Apa saja produk hukum tersebut?

Pemda Disunat Kewenangannya

Kenyataannya, pemerintah daerah sekarang banyak kehilangan kendali terhadap investasi di wilayahnya sendiri. Ini bukan asumsi semata, tapi udah tertulis jelas dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, urusan perizinan dan pengendalian investasi dikembalikan ke pusat, apalagi kalau proyek itu dianggap "strategis nasional".

Belum cukup? Muncul lagi Perpres No. 109 Tahun 2020 yang ngelist ratusan Proyek Strategis Nasional (PSN). Kalau sebuah investasi masuk dalam daftar ini, daerah udah nggak bisa banyak komentar. Semua izin dan arah kebijakan ditentukan langsung dari Jakarta.

 

Padahal Daerah yang Paling Paham Kondisi Lapangan

Yang bikin miris, daerah adalah pihak yang paling ngerti kondisi sosial, budaya, dan lingkungan setempat. Kalau ada potensi konflik dengan warga, kalau ada risiko pencemaran lingkungan, yang pertama kali menghadapi adalah pemerintah daerah. Tapi saat suara daerah nggak dianggap, yang terjadi malah bentrokan antara warga dan aparat, atau demo berkepanjangan.

Di sinilah letak masalahnya. Pusat berhak menentukan arah kebijakan nasional, tapi kalau semua dikendalikan tanpa koordinasi serius dengan daerah, maka daerah cuma jadi penonton — bahkan korban.

 

Sentralisasi Ala Pemerintahan Jokowi

Perlu diingat, dua aturan penting yang memangkas otonomi daerah ini, UU No 23 Tahun 2014 dan Perpres No 109 Tahun 2020, dikeluarkan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Di satu sisi, Jokowi dikenal sebagai figur yang mendorong percepatan pembangunan. Tapi di sisi lain, sentralisasi yang berlebihan ini justru mematikan semangat otonomi daerah yang dulu diperjuangkan pasca-reformasi.

Ironisnya, di tengah janji "membangun dari pinggiran", banyak kepala daerah justru kehilangan power untuk mengatur wilayahnya dan kesejahteraan rakyatnya sendiri saat investasi besar masuk. Masyarakat lokal hanya bisa mengeluh ketika tambang dibuka, hutan dibabat, sawah digusur, atau laut tercemar dan sering kali pemerintah daerah pun tak bisa berbuat banyak.

Bercermin Dari Fenomena Tambang Nikel di Raja Ampat

Mengutip artikel suarapapua.com (11/3/2025), dulu Raja Ampat disebut “surga bawah laut”, UNESCO Global Geopark, menetapkannya sebagai aset kelautan dunia. Tapi sekarang, topik soal nikel lagi hebo:, tambang nikel di Pulau Gag dan Batan Pelei bikin masyarakat adat serta pelaku wisata naik pitam. Mereka bilang kalau tambang ini:
  • Merusak hutan dan laut
  • Mengancam ekowisata
  • Mengganggu mata pencaharian nelayan dan pemandu selam
  • Picu konflik bagi warga lokal dan adat
Bahkan Bupati Raja Ampat, dalam pemberitaan dari fajar.co.id (7/6/2025), menyesalkan aturan sentralisasi investasi dari pusat ini. Dirinya menyebut, ketika terjadi pencemaran lingkungan, pemerintah daerah tak bisa berbuat apa-apa.

Publik bahkan lihat ada sedimentasi limbah tambang yang bikin air di sekitar Raja Ampat makin keruh, berdampak nyata ke ekosistem dan sektor pariwisata.

Nah, ini contoh nyata efek domino saat daerah kalah dalam pengambilan keputusan. Pusat boleh pegang kuasa, tapi yang terkena dampaknya adalah masyarakat lokal dan lingkungan langsung.

Waktunya Daerah Dikasih Kendali Lagi

Investasi itu penting. Tapi lebih penting lagi memastikan bahwa pembangunan dilakukan secara adil dan berpihak pada masyarakat lokal. Sudah waktunya negara meninjau ulang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Karena tanpa keterlibatan daerah yang kuat, pembangunan hanya akan jadi proyek-proyek raksasa yang asing bagi rakyatnya sendiri.
Produk Sponsor