Warga Cilegon Curhat, Urus Surat Tumpang Nikah Habis Rp500ribu Lebih, Semua Tanpa Kwitansi


Seorang warga Cilegon berinisial MF (25) mengungkapkan pengalamannya yang mengecewakan saat mengurus surat tumpang nikah. Lewat DM ke akun Instagram @faktacilegon, ia menceritakan kronologi yang dialaminya, mulai dari RT, Kelurahan, hingga KUA Kecamatan.

MF mengaku sebelum mengurus mencari tahu terlebih dahulu terkait prosedurnya, "Saya sebenarnya tau aturan urus administrasi surat tumpang nikah ini, karena sebelumnya sudah mengkaji undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014" kata dia.

Ngurus Sendiri Malah Ditolak Kelurahan

Lebih lanjut MF mengungkapkan beberapa kejanggalan dalam prosesnya, "saya mau urus surat tumpang nikah itu sendiri karena berkas sudah tersedia di laman lembaga kemenag, Setelah menghadap RT ternyata suruh bayar kisaran habis di angka 500 ribuan sempat ke kantor kelurahan ternyata di tolak, karena harus RT yang ngurus" keluhnya.

Tak berhenti sampai disitu, MF pun sempat menghadap tokoh masyarakat untuk meminta informasi, "ngadep ketokoh masyarakat ditolak karena harus RT yang ngurus, dan kalau RT yang ngurus harus bayar, dan saya cukup senyum saja karena di minta kwitansi bukti pembayaran kata RT nya tidak usah" ungkapnya.
 

Layanan Publik Gratis Masih Sebatas Jargon?

Surat tumpang nikah adalah dokumen administratif yang diperlukan oleh pasangan calon pengantin yang akan menikah di luar wilayah domisili salah satu pihak. Sesuai peraturan, dokumen ini bisa diurus tanpa biaya jika hanya sampai tahap surat pengantar kelurahan atau desa.

Namun, kenyataannya jauh dari harapan. MF mengaku harus bayar hingga setengah juta rupiah lebih, hanya agar dokumen tersebut bisa diproses oleh RT. Upayanya untuk mengurus sendiri langsung ditolak oleh kelurahan, dan bahkan tokoh masyarakat pun tidak bisa bantu tanpa campur tangan RT.
 

Masih Juga Dimintai Uang di KUA Kecamatan

Mirisnya, setelah urusan RT dan Kelurahan selesai, MF tetap harus mengeluarkan uang lagi di KUA Kecamatan.

"Karena sebagai sikap tenggang rasa dengan ketua RT sebagai tetangga kejadian ini dianggap lumrah, dan ternyata gak berhenti di situ, di KUA Kecamatan pun dimintai sejumlah uang kisaran 50-100 ribu untuk biaya cetak piagam, ini nampaknya sudah berlangsung lama" tutupnya.

Kapan Ada Ketegasan terhadap Pungli?

Pungutan liar dalam layanan publik bukan hanya melanggar aturan, tapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan aparat pelayanan. Kasus ini memang terjadi pada 2024, tapi MF merasa baru sekarang punya tempat untuk menyuarakan keresahannya, agar warga lain nggak mengalami hal yang sama.

Pungli semacam ini seolah jadi tradisi tak tertulis. Mirisnya, banyak warga yang memilih diam demi "tenggang rasa", padahal ini jelas-jelas bentuk penyalahgunaan kewenangan.

Bukan masalah warga tak mau bayar, pungutan semacam ini kalau memang dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan, sebaiknya dilegalkan saja di atas kertas. Sebut saja ada tarif. Jangan bilangnya free tapi faktanya enggak. Sekalian saja pasang tarif harga, bikin di plang biar transparan. Warga juga rela kok kalau masuk kas resmi pemerintah.

faktacilegon.com

Produk Sponsor