Keputusan Walikota Cilegon soal pemberhentian Sekda kelihatannya sederhana. Tapi membaca berita-berita terkini dan dipelajari ternyata makin banyak yang terasa janggal.
Kenapa begitu cepat? Kenapa seperti tak ada ruang diskusi atau kajian internal? Dan yg paling sering dipertanyakan oleh ASN di internal, siapa sebenarnya yang membisikkan semua ini ke telinga Wali Kota?
Pandangan Akademisi Terhadap Polemik Pencopotan Maman
Menurut Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fauzi Sanusi, penunjukan ASN Eselon III sebagai Plt Asisten Daerah memunculkan tanda tanya serius soal tata kelola birokrasi.
Fauzi menjelaskan hal ini, dan diberitakan oleh bantennews.co.id (22/12/2025), menyebut bahwa Asda bukan jabatan sembarangan, melainkan “dapur kebijakan kepala daerah” yang berperan mengoordinasikan OPD, mengawal program prioritas, hingga memastikan arah pemerintahan berjalan seirama dengan visi kerja Wali Kota.
Praktis Belum Tentu Etis, Jangan Menormalisasi Kondisi Darurat
Secara normatif, kata Fauzi, jabatan Asda setara kepala dinas dan masuk kategori pimpinan tinggi pratama, sementara Eselon III dirancang untuk fungsi administratif, bukan pengambilan keputusan strategis lintas sektor.
Ia mengingatkan, alasan kepraktisan akibat kekosongan jabatan atau keterbatasan SDM tidak bisa otomatis dibenarkan, karena “praktik yang praktis belum tentu etis”.
Jika kondisi darurat terus dijadikan pembenaran, menurutnya, pragmatisme bisa berubah menjadi normalisasi pelanggaran, di mana “yang darurat dinormalisasi, yang pengecualian dijadikan pola”, dan pada akhirnya mencederai rasa keadilan ASN yg menempuh jalur sesuai aturan.
Kejanggalan Implementasi Rekomendasi BKN oleh BKPSDM
Rekomendasi BKN memang ada. Tapi dalam lingkup birokrasi, rekomendasi itu bukan tombol ON-OFF. Biasanya dibedah terlebih dahulu, dikaji, dipertimbangkan dari banyak sisi. Kali ini, kesannya langsung jalan.
Padahal beberapa waktu lalu pernah juga ada rekomendasi BKN terkait pemberian sanksi kepada 3 Lurah yang dinyatakan melanggar netralitas saat pemilu. Kala itu BKPSDM Cilegon melaksanakan sanksi dengan jeda yang cukup lama. Lantas mengapa di kasus Maman ini berbeda?
Anggapan Terhadap Kinerja dan Profesionalitas BKPSDM
BKPSDM pun mulai jadi bahan obrolan di internal ASN Pemkot Cilegon. Bukan karena publik mengapresiasi programnya, tapi justru karena perannya yang dianggap senyap dan berstandar ganda. Publik mempertayakan informasi apa saja sebenarnya yang sampai ke telinga Wali Kota, dan informasi apa yang mungkin berhenti di tengah jalan?
Di saat bersamaan, peta komunikasi di Pemkot nampak bergeser. Beberapa orang yang dikenal dekat dengan Wali Kota pelan-pelan menjauh dari pusat pengambilan keputusan. Sementara wajah-wajah tertentu justru makin sering muncul bahkan mendapatkan peran yang strategis.
Kalau arus informasi hanya datang dari satu pintu, wajah jika publik mengkritisi apa yang sebenarnya sedang dibangun? Penataan birokrasi, atau penataan pengaruh?
Maman Belum Terima SK Kemendagri
Dan yang menarik, dari berbagai sumber pemberitaan media lokal disebutkan bahwa Maman belum menerima SK dari Kemendagri terkait pemberhentiannya sebagai Sekda. Pelantikan jabatan baru untuk Maman pun belum ada. Tapi keputusan sudah lebih dulu diumumkan ke publik.
Di birokrasi, kondisi menggantung bukan hal sepele. Itu bisa melemahkan sistem, dan pelan-pelan menggerus posisi pemimpin itu sendiri.
Pertanyaannya sekarang, apakah Wali Kota benar-benar sedang memegang kendali, atau justru sedang disetir tanpa sadar?
Karena dalam peta kekuatan birokrasi, yang pertama harus diwaspadai bukan serangan dari luar, tapi bisikan halus dari orang-orang terdekat yang mengkeroposkan posisinya sebagai pucuk pimpinan birokrat.
Sumber referensi: bantennews.co.id (22/12/2025)