Polemik mengenai ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka dan memicu pertanyaan fundamental mengenai ketiadaan sistem verifikasi dokumen publik yang kokoh dan transparan di Indonesia. Kegagalan institusi negara memberikan jawaban tegas dinilai telah mengubah isu teknis menjadi sebuah krisis yang mencerminkan kerapuhan fondasi hukum nasional.
Menurut analisis dalam tulisan opini tersebut, respons institusional yang terbatas, seperti klarifikasi dari universitas dan penegakan hukum yang cenderung memproses pelapor, justru memperlebar jurang ketidakpastian. Situasi ini dianggap melemahkan sejumlah asas hukum yang menjadi pilar negara.
Erosi Asas Hukum dan Standar Pembuktian
Penulis artikel sumber menyoroti runtuhnya asas kepastian hukum (rechtszekerheid), yang seharusnya mewajibkan negara menyediakan bukti jelas untuk dokumen pejabat publik. Namun, yang terjadi adalah silang pernyataan. Asas legalitas (lex certa) juga dinilai melemah karena tindakan aparat dianggap lebih reaktif dan berfungsi meredam kritik daripada mencari kebenaran substantif.
Selain itu, asas akuntabilitas administratif disebut ikut tergerus akibat tidak adanya kejelasan terkait penyimpanan dan retensi dokumen pencalonan presiden. Dalam teori pembuktian, prinsip seperti keaslian (authenticity), lacak balak (chain of custody), dan integritas dokumen publik menjadi rapuh. Hal ini disebabkan oleh absennya Standar Nasional Protokol Verifikasi Dokumen, laboratorium forensik dokumen yang independen, serta sistem audit arsip yang terintegrasi di Indonesia.
Perbandingan Respon Negara dan Tata Kelola Arsip
Artikel tersebut membandingkan penanganan polemik serupa di negara lain. Di Amerika Serikat, Gedung Putih merilis sertifikat kelahiran Barack Obama untuk meredam spekulasi. Di Brasil, ijazah Dilma Rousseff diaudit secara akademik oleh otoritas pendidikan, sedangkan di India, sengketa ijazah Narendra Modi diselesaikan melalui mekanisme Right to Information Act tanpa ada kriminalisasi terhadap pengkritik.
Sebaliknya, pendekatan di Indonesia dinilai berjalan ke arah berlawanan, di mana aparat lebih cepat memproses laporan pencemaran nama baik. Persoalan utamanya justru diidentifikasi sebagai lemahnya tata kelola arsip publik. Dalam hukum administrasi, hilangnya arsip penting dikategorikan sebagai maladministrasi yang dapat merusak legitimasi pejabat dan kredibilitas negara.
Kebutuhan Mendesak Akan Transparansi Digital
Kegaduhan ini juga dianggap menyingkap ketidaksiapan negara dalam menghadapi era transparansi digital. Respons yang defensif terhadap permintaan verifikasi dari publik dinilai tidak sejalan dengan standar demokrasi modern yang menuntut transparansi proaktif. Di banyak negara demokratis, pejabat publik secara sukarela menunjukkan dokumen penting untuk menjaga kepercayaan dan legitimasi.
Transparansi bukan lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai alat esensial untuk memulihkan kepercayaan publik. Kegagalan menyediakan mekanisme transparansi yang memadai membuat polemik terus berulang dan berpotensi merusak kepercayaan publik secara jangka panjang.
Imperatif Reformasi Hukum dan Administrasi
Sebagai solusi, artikel tersebut menegaskan perlunya standar nasional untuk verifikasi dokumen publik. Ini mencakup prosedur baku verifikasi dokumen akademik pejabat, aturan retensi arsip pencalonan presiden, audit kearsipan digital, dan integrasi data universitas dengan lembaga negara. Pembangunan laboratorium forensik dokumen yang terakreditasi juga dianggap krusial untuk memberikan penilaian otentikasi yang ilmiah.
Lebih lanjut, disarankan agar pemerintah menata ulang penggunaan pasal pencemaran nama baik, terutama dalam kasus yang menyangkut kepentingan publik. Kritik terhadap pejabat publik tidak seharusnya diperlakukan setara dengan serangan pribadi. Jika negara memidanakan kritik tanpa menyediakan mekanisme transparansi terlebih dahulu, hukum berisiko menjadi instrumen kekuasaan, bukan alat pelayanan publik.
Referensi:
Sumber artikel: www.gelora.co (25/11/2025)