Ulama Palsu, Warisan Politik Pecah Belah Kolonial



Sejarah sering menyimpan wajah lain yg jarang kita baca di buku pelajaran. Salah satunya, kisah tentang “ulama palsu” di masa penjajahan Belanda. Mereka bukan ulama yg lahir dari nurani perjuangan, melainkan tokoh yg sengaja dipoles penguasa kolonial untuk satu tujuan: membelokkan tafsir agama agar rakyat tidak melawan.

Bayangkan, di saat rakyat menderita karena tanah dirampas, pajak mencekik, dan kerja rodi merenggut nyawa, tiba-tiba muncul suara yg berkata, “Taatlah pada penguasa, karena itu bagian dari ajaran agama.” Inilah politik kolonial: memanfaatkan simbol suci untuk menekan jiwa perlawanan.

Tan Malaka dan Kritik Tajam pada Manipulasi Agama

Tan Malaka, tokoh perlawanan yg keras kepala melawan penindasan, pernah menyinggung fenomena ini. Menurutnya, agama dijadikan alat pembungkam. Rakyat dipaksa percaya bahwa melawan penguasa sama dengan melawan Tuhan. Sementara itu, tambang, rempah, hingga hasil bumi Indonesia terus mengalir ke kas kolonial dan segelintir elite.

Kata Tan Malaka, agama seharusnya jadi cahaya pembebasan, bukan borgol yg membatasi gerak rakyat kecil. Kritik ini bukan berarti menolak agama, melainkan menolak manipulasi agama untuk melanggengkan tirani.


Ulama Pejuang vs Ulama Palsu

Sejarah mencatat, ada ulama sejati yg berdiri di barisan rakyat: Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, KH Hasyim Asy’ari, dan banyak lainnya. Mereka mengorbankan segalanya demi melawan penjajahan.

Tapi di sisi lain, ada pula ulama bayangan, yg justru berdiri di samping kolonial. Dari mimbar, mereka menyuarakan kepatuhan, bukan kemerdekaan. Dari kitab, mereka pilih tafsir yg menguntungkan penjajah, bukan rakyat.


Pesan untuk Hari Ini

Kenapa kisah ini penting? Karena politik pecah belah tidak berhenti di masa lalu. Modusnya mungkin berbeda, tapi esensinya sama: ada pihak yg selalu ingin memanfaatkan agama untuk kepentingan sempit, menutup mata rakyat dari masalah besar, dan membuat kita sibuk saling curiga satu sama lain.

Kalau dulu ulama palsu dipakai untuk menutup suara perlawanan, hari ini kita juga harus waspada pada siapa saja yg membawa-bawa agama untuk membela kepentingan golongan.

Sejarah mengajarkan satu hal sederhana: jangan gampang percaya pada narasi yg memecah belah. Karena sekali rakyat tercerai-berai, jalan menuju penjajahan dalam (bentuk apa pun) jadi terbuka lebar.

Produk Sponsor