Swedia Kehabisan Sampah, Hingga Harus Import 800 Ribu Ton Sampah dari Negara Tetangga



Efisiensi Sistem Pengelolaan Sampah di Swedia

Swedia terkenal punya sistem pengelolaan sampah yg sangat efisien. Lebih dari 99 % sampah domestik mereka diproses ulang atau dibakar di fasilitas waste‑to‑energy (WTE). Sekitar 50 % limbah rumah tangga diinsinerasi, menghasilkan energi listrik dan panas utk pemanas distrik. Kesuksesan ini terjadi karena masyarakat disiplin memilah sampah, regulasi produsen ketat, serta teknologi WTE yg canggih.


Krisis Sampah, Swedia Impor 800 Ribu Ton Sampah per Tahun

Karena volume sampah lokal tak cukup utk jalankan WTE, Swedia sampai harus mengimpor sekitar 800.000 ton sampah per tahun dari negara tetangga. Sampah ini diolah jadi energi, sementara sisa berbahaya dikembalikan ke negara asal. Model ini sebenarnya membantu negara lain kurangi beban TPA dan nyediain energi bersih bagi Swedia. Namun para aktivis khawatir ketergantungan terhadap impor sampah bisa melemahkan dorongan daur ulang internal dan menimbulkan emisi tambahan kalau pengawasan lemah.


Pelajaran Buat Indonesia & Cilegon, Mengubah Sampah Jadi Sumber Daya

Swedia menunjukkan bahwa sampah bisa jadi aset berharga jika dikelola komprehensif: pendidikan publik, regulasi produsen, serta teknologi terintegrasi. Fokus bukan cuma pada penanganan sampah, tapi menjadikan limbah sebagai sumber energi dan nilai ekonomi.

Di Indonesia sendiri jumlah sampah makin besar. Data nasional menyebut bahwa banyak sampah belum tertangani dengan baik, dan banyak kota masih bergantung pada open dumping atau TPA konvensional yg polutif. Trend ini bikin kita makin sadar bahwa sistem WTE ala Swedia punya potensi besar untuk diterapkan di kota² berkembang.


Tantangan Berat Pengelolaan Sampah di Cilegon

Menurut laporan Selatsunda.com, volume sampah terangkut Kota Cilegon naik dari ±200 ton/hari di 2022 ke sekitar 245 ton/hari di tahun 2023, dan diprediksi terus meningkat hingga 20–30 % (25/07/2024). Artinya mulai muncul ‘backlog’ sampah yg belum tertangani sempurna.

TPA Bagendung, yang berkapasitas maksimal 668 ton/hari, masih berstatus risiko menengah menurut studi IRBA — dengan skor risiko 515,25. Rekomendasi termasuk rehabilitasi bertahap, modernisasi sistem landfill, produksi Refuse‑Derived Fuel (RDF), serta pemantauan gas metana dan leachate yg lebih ketat (urbanenvirotech.trisakti.ac.id, April 2025).

Data dari ppid.cilegon.go.id menyebut bahwa dari total timbunan sampah tahunan sekitar 10,3 juta ton, hanya 67,8 % yg sudah dikelola — sisanya sekitar 5 juta ton belum tertangani sampai Agustus 2025.


Rekomendasi Strategis untuk Cilegon

Berikut strategi praktis yang bisa diterapkan kota Cilegon berdasarkan refleksi dari model Swedia dan kondisi lokal:

  • Bangun fasilitas WTE skala regional atau TPST yang bisa menghasilkan RDF dari sampah plastik dan organik. Meski masih baru, produksi RDF bisa mengurangi volume landfill dan menghasilkan energi alternatif.
  • Implementasikan sistem pilah sampah di rumah tangga (3R) sekaligus edukasi massal berdasarkan pendekatan behavioral yang terbukti: kontrol perilaku (perceived behavioral control), norma sosial, dan pengetahuan lingkungan adalah prediktor kuat perilaku 3R (urbanenvirotech.trisakti.ac.id, studi teori psikologi perilaku Indonesia/ internasional).
  • Kembangkan bank sampah dan TPS3R di tiap kelurahan, memperkuat kolaborasi antar warga, kelurahan, dan sektor swasta/dinas. Saat ini governance bank sampah di Cilegon belum optimal karena kurang sarpras, partisipasi masyarakat, dan pelaporan (eprints.untirta.ac.id, Feb 2025).
  • Upgrade TPA Bagendung jadi sistem landfill terkendali, rehab secara bertahap, pasang pemantauan gas metana dan leachate, serta evaluasi pH dan kualitas lingkungan secara rutin agar risiko lingkungan menurun (urbanenvirotech.trisakti.ac.id, April 2025).
  • Perkuat regulasi lokal: master plan pengelolaan limbah, insentif bagi produsen untuk take‑back packaging, serta penganggaran minimal 3 % APBD untuk sektor persampahan.
  • Manfaatkan teknologi smart waste tracking & collection—misal IoT sensor di TPS3R untuk optimasi rute angkut dan efisiensi operasional seperti tire sistem multi‑agent IoT di beberapa kota berkembang internasional (studi teknologi smart waste iomasa).
  • Libatkan sektor informal (pemulung, pengumpul plastik) dalam rantai daur ulang formal. Integrasi informal ke dalam bank sampah bisa meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan—pendekatan global yg banyak dicoba di kota² berkembang (wikipedia tentang informal waste collection).

Kesimpulan

Fenomena unik Swedia menunjukkan bahwa sistem pengelolaan limbah bisa sukses apabila dikelola oleh budaya masyarakat yg sadar lingkungan, regulasi tegas, dan dukungan teknologi canggih. Cilegon tentu belum berada di level itu, tapi punya potensi untuk memulai: dari edukasi publik, bank sampah, teknologi, hingga modernisasi TPA.

Jika dijalankan dengan komprehensif, bukan tak mungkin kota ini bisa jadi contoh pengelolaan sampah berkelanjutan di Indonesia, dari masalah berubah menjadi nilai energi dan  kebaikan untuk lingkungan. Semoga!

Produk Sponsor