Wagub: “Itu Hal Biasa, Asal Nggak Pakai Duit”
Saat publik berharap ada sikap tegas dan satu suara dari jajaran Pemprov Banten, muncul pernyataan kontroversial dari Wakil Gubernur. Dalam wawancara yang diunggah ke media, Dimyati mengatakan bahwa:
“Kalau disposisi pejabat itu hal yang lumrah. Kalau DPRD, itu perwakilan rakyat. Kalau nitip selama tidak ada duit dan tidak memaksa, ya nggak masalah.”
Pernyataan ini jelas sangat disayangkan. Bukan hanya karena seolah membenarkan penyalahgunaan pengaruh jabatan, tapi juga karena memperlihatkan betapa lemahnya komitmen terhadap asas meritokrasi dan keadilan sosial. Pernyataan seperti ini membuka pintu legalisasi diam-diam terhadap praktik “titip-menitip” yang selama ini dianggap busuk oleh publik.
Disposisi Itu Bukan Alasan, Tapi Celah Penyimpangan
Disposisi memang lazim digunakan di lingkungan birokrasi, namun konteksnya sangat penting. Disposisi bukan mengarahkan hasil, apalagi menjamin diterimanya seseorang di institusi pendidikan. Apalagi jika disposisi itu datang dari pihak legislatif, yang tak punya otoritas teknis dalam proses seleksi masuk pendidikan. Ini bukan sekadar miskomunikasi birokrasi. Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan secara struktural.
Lucunya, pernyataan Dimyati yang menekankan “asal nggak ada duit” justru mengaburkan fakta bahwa intervensi kekuasaan itu sendiri adalah bentuk korupsi moral. Sekalipun tanpa amplop, surat sakti dari pejabat publik bisa memengaruhi keputusan panitia, mencederai peserta lain, dan menjatuhkan integritas sistem penerimaan pendidikan itu sendiri.
Lantas Banten Mau Dibawa ke Mana?
Pernyataan ini tak hanya menyakitkan hati para orang tua siswa yang berharap diterima karena prestasi. Tapi juga mencoreng upaya banyak guru, panitia, dan lembaga pendidikan yang selama ini berjuang menjaga proses seleksi tetap bersih. Apa jadinya kalau nanti semua pejabat ikut-ikutan mengirim surat disposisi dan menganggapnya “wajar”? Maka tamatlah keadilan bagi anak-anak yang tak punya orang dalam.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita mau membiarkan kebiasaan buruk ini menjadi warisan budaya politik Banten? Jika wakil gubernur saja tidak mampu membedakan antara empati politik dan penyalahgunaan kewenangan, maka siapa lagi yang bisa menjaga marwah keadilan dalam sistem ini?
Catatan Kritis untuk Pemprov dan Masyarakat
- Transparansi seleksi pendidikan harus diperbaiki
- Perlu pembatasan keras intervensi legislatif dalam urusan teknis eksekutif, terutama dunia pendidikan.
- Publik berhak mengawasi dan menolak jika ada praktik titipan, bahkan jika tanpa uang sekalipun.
Wakil Gubernur boleh saja menyebut disposisi itu wajar, tapi publik berhak bilang: tidak semua yang biasa itu benar, dan tidak semua yang biasa itu etis. Kalau memang ingin pendidikan di Banten maju, mulai dulu dari membuang kebiasaan intervensi elit yang mencederai hak rakyat kecil