Kota Cilegon, Banten, kini berada dalam cengkeraman darurat kesehatan yang seharusnya telah menjadi catatan usang dalam buku sejarah medis. Penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di empat kecamatan sekaligus menjadi tamparan keras dan pengingat pahit bahwa musuh lama bernama campak tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya tertidur, menunggu celah kelalaian kolektif untuk kembali meneror anak-anak kita. Ini bukan sekadar berita regional, ini adalah sirene peringatan yang berbunyi nyaring bagi seluruh wilayah di Indonesia.
Ketika puluhan anak terkonfirmasi positif terjangkit penyakit yang sangat menular ini, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan bukanlah lagi 'apa yang terjadi?', melainkan 'mengapa ini bisa terjadi?'.
Terlebih, seperti yang diberitakan oleh ANTARA (30/10/2025), pemerintah setempat mengakui bahwa kasus campak di wilayah tersebut telah nihil selama beberapa tahun terakhir. Status nihil yang seharusnya menjadi prestasi justru berbalik menjadi bumerang, melahirkan rasa aman palsu yang mematikan.
Di Balik Angka, Benarkah Kita Terlalu Nyaman?
Fakta bahwa 31 kasus positif campak rubella muncul di Kecamatan Cibeber, Jombang, Citangkil, dan Pulomerak bukanlah sebuah kebetulan. Ini adalah puncak dari gunung es yang dasarnya terbentuk dari erosi kewaspadaan. Keberhasilan program imunisasi di masa lalu mungkin telah membuat sebagian masyarakat, dan mungkin juga para pemangku kebijakan, lupa akan betapa ganasnya penyakit ini. Anggapan bahwa campak adalah penyakit 'biasa' pada anak-anak adalah miskonsepsi berbahaya yang mengabaikan risiko komplikasi serius seperti pneumonia, kerusakan otak, hingga kematian.
Kebangkitan campak di Cilegon secara implisit menunjuk pada kemungkinan adanya 'kantong-kantong' populasi anak yang tidak terlindungi oleh vaksin. Apakah ini disebabkan oleh disinformasi, kesulitan akses layanan kesehatan, atau sekadar apatisme orang tua? Ini adalah pekerjaan rumah investigatif yang harus dituntaskan.
Tanpa memahami akar masalahnya, respons pemerintah yang kini menggencarkan vaksinasi massal terhadap lebih dari 27.000 anak hanya akan menjadi solusi reaktif sesaat, bukan preventif jangka panjang.
Respons Darurat Bukan Solusi Akhir, Mitigasi adalah Kunci Pertahanan
Langkah cepat Dinas Kesehatan Cilegon untuk menggelar vaksinasi massal selama sebulan penuh patut diapresiasi sebagai tindakan darurat. Namun, masyarakat tidak bisa hanya berpangku tangan menunggu petugas kesehatan datang ke sekolah atau posyandu.
Pertahanan terbaik melawan wabah adalah pertahanan yang dibangun dari tingkat individu dan keluarga. Edukasi mengenai bahaya campak dan pentingnya imunisasi lengkap harus kembali digalakkan secara masif dan kreatif, menembus kebisingan informasi di era digital.
Orang tua perlu memahami bahwa melengkapi imunisasi anak bukanlah pilihan, melainkan tanggung jawab mutlak untuk melindungi buah hati dan menciptakan kekebalan komunal (herd immunity). Selain itu, mitigasi risiko penularan harus menjadi kebiasaan baru.
Seperti yang diimbau otoritas kesehatan, praktik sederhana seperti rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan lingkungan, dan yang terpenting, segera mengisolasi penderita serta menghindari kontak langsung, adalah benteng pertahanan paling mendasar untuk memutus rantai transmisi virus yang menyebar secepat kilat melalui udara.
Referensi
- ANTARA. (2025, Oktober 30). Empat kecamatan di Cilegon Banten KLB penyakit campak. megapolitan.antaranews.com.