Sudah Beristri 2 Kali Ngamar Sama Mahasiswi, Anggota Polres Cilegon Diperiksa Bidpropam Polda Banten

Skandal di Balik Lencana

Kasus dugaan asusila yang menyeret seorang anggota Polres Cilegon berinisial Brigadir HA, menjadi perhatian publik setelah seorang mahasiswi bernama ES melaporkannya ke bagian Propam. Seperti yang diberitakan oleh kumparan.com (29/10/2025), penyelidikan dilakukan oleh Bidpropam Polda Banten karena diduga ada pelanggaran kode etik yang cukup serius. Brigadir HA sendiri kini sudah ditempatkan di tempat khusus untuk pemeriksaan lanjutan.


Penyelidikan Internal dan Mekanisme Kode Etik

Penanganan kasus ini tidak berhenti di tingkat Polres. Setelah laporan masuk ke Siepropam Polres Cilegon pada awal Oktober, penyidik menyerahkan proses ke Bidpropam Polda Banten. Langkah ini menjadi bagian dari mekanisme pengawasan berlapis untuk memastikan penegakan kode etik berjalan objektif dan transparan. Dalam pernyataan resmi yang dikutip dari sumber yang sama, pihak kepolisian menegaskan komitmen mereka untuk memproses setiap pelanggaran tanpa pandang bulu.

Penerapan sanksi etik di internal Polri memang seringkali menjadi ukuran seberapa jauh institusi ini berani menegakkan disiplin terhadap anggotanya sendiri. Penempatan khusus atau "patsus" bukan sekadar bentuk hukuman administratif, melainkan bagian dari proses pendalaman sebelum keputusan etik dijatuhkan. Dengan demikian, langkah ini menunjukkan bahwa proses hukum dan etik berjalan paralel, meski publik menuntut hasil yang cepat dan terbuka.


Etika Pribadi dan Luka Institusi

Di balik seragam yang melekat, seorang anggota kepolisian sejatinya juga manusia yang punya kehidupan pribadi. Namun, ketika perilaku pribadi itu melanggar norma sosial dan hukum, dampaknya tidak berhenti pada individu. Perbuatan asusila yang dilakukan oleh aparat, apalagi yang sudah berkeluarga, mencederai nilai moral yang seharusnya dijaga oleh profesi penegak hukum.

Kasus seperti ini memperlihatkan bagaimana satu tindakan individu dapat menggores nama besar institusi. Masyarakat sering kali tidak membedakan antara “oknum” dan “institusi”, sehingga kepercayaan publik terhadap Polri bisa kembali terguncang. Padahal, sebagian besar anggota polisi bekerja dengan dedikasi tinggi dan berkomitmen menjaga keamanan masyarakat. Namun, cukup satu kesalahan personal untuk kembali membuka luka lama dalam hubungan antara Polri dan rakyatnya.


Citra Polisi dan Krisis Kepercayaan Publik

Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian bukan semata karena sistem yang gagal, tetapi karena perilaku oknum yang mencoreng nama baik institusi. Kasus Brigadir HA hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana moralitas individu berpengaruh terhadap persepsi publik secara kolektif. Dalam konteks ini, Polri perlu menunjukkan langkah nyata, bukan sekadar pernyataan normatif.

Citra polisi bisa pulih, namun dibutuhkan konsistensi dalam menegakkan aturan dan keberanian mengakui kelemahan internal. Pembinaan moral, pengawasan perilaku, dan penegakan disiplin perlu diperkuat sejak awal masa dinas. Hanya dengan begitu, kepercayaan publik bisa dibangun kembali di atas fondasi integritas, bukan sekadar seragam dan jabatan.

Ke depan, masyarakat berharap setiap kasus pelanggaran etik dapat diselesaikan secara transparan dan proporsional, agar publik tahu bahwa hukum benar-benar berlaku untuk semua, termasuk mereka yang berseragam.

Referensi:

Produk Sponsor